MaN4MWBcLWt6MGFbMqR6MGV8MTcsynIkynwdxn1c
Menjejak Timur Nusantara: 14 Hari Menuju Kampung Saukobye

Menjejak Timur Nusantara: 14 Hari Menuju Kampung Saukobye

IKOM RADIO UMY — Perjalanan menuju ujung timur Indonesia bukan sekadar soal jarak. Bagi 21 mahasiswa peserta Kuliah Kerja Nyata (KKN) Mahardika Bakti Nusantara, perjalanan dari Surabaya menuju Kampung Saukobye di Kabupaten Biak Numfor menjadi kisah panjang tentang ketahanan, kesabaran, dan pertemuan budaya.

Segalanya dimulai pada sebuah sore dari Pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya. Perjalanan yang semula diperkirakan memakan waktu lima hingga enam hari, berubah menjadi 14 hari akibat kerusakan salah satu mesin kapal KM Sinabung milik PT Pelayaran Nasional Indonesia. Mereka ditempatkan di geladak 3, salah satu dek lantai kapal untuk tempat para penumpang.

Dengan perlahan, kapal meninggalkan dermaga yang diikuti oleh ombak dan angin laut untuk menemani perjalanan. Kapal menempuh rute panjang melintasi sejumlah pelabuhan utama di wilayah timur: Makassar, Baubau, Bitung, Ternate, Manokwari, hingga Sorong. Setiap pemberhentian selalu memiliki cerita kecil, wajah-wajah penumpang yang turun dan naik, hiruk pikuk pelabuhan, hingga aroma khas makanan yang dijajakan pedagang yang naik dan turun.

Hari demi hari terasa panjang, kadang membosankan atau penuh kejutan, dari yang menyenangkan hingga keadaan mencekam beriringan bersama mereka. Ada saat kapal seperti berjalan sangat pelan, membuat kami bertanya-tanya kapan akhirnya akan tiba. Namun, justru di situlah perjalanan terasa bermakna: melihat laut lepas, mendengar cerita sesama penumpang, pedagang asongan, hingga nakhoda untuk mempelajari arti sebuah kesabaran. Dari 21 orang yang berangkat, beberapa diantaranya harus ada yang mengalah untuk bergantian menjaga barang-barang, dari barang pribadi hingga barang program kerja.

Semua yang berada dalam kapal tersebut mengetahui mereka sebagai mahasiswa yang akan melakukan studi Kuliah Kerja Nyata di Kabupaten Biak Numfor. Kebanyakan dari mereka mengetahuinya melalui rompi yang dikenakan berlambang Mahardika Bakti Nusantara dengan warna coklat, warna yang sangat hangat dibandingkan orang-orang menggunakan baju dengan warna monoton.

Setiap kali kapal bersandar di pelabuhan Makassar, Baubau, Bitung, Ternate, Manokwari, hingga Sorong menjadi momen yang paling dinanti. Begitu kapal merapat, mereka berebut kesempatan untuk “bernapas” kembali. Ada yang turun mencari makanan hangat karena bosan dengan menu kapal, ada yang buru-buru mencuci pakaian agar merasa segar, dan ada pula yang sekadar duduk di warung menikmati kopi sambil memandangi hiruk-pikuk pelabuhan. Bagi kami, pelabuhan bukan sekadar tempat singgah, tapi musik untuk menyegarkan pikiran. Setelah berhari-hari ditemani suara mesin dan pemandangan laut yang monoton, riuh daratan, dan warna-warni pasar menjadi hiburan yang begitu kami rindukan.

Dalam perjalanan ini, para mahasiswa sempat menikmati “liburan tipis” sebelum menjalankan program yang sudah disusun sejak di Yogyakarta. Di Makassar, mereka mencari Coto Makassar asli, sedangkan di Baubau, mereka mencicipi ikan kakap merah segar yang dibakar sederhana. Bitung menyuguhkan sambal khas dengan cita rasa yang sangat berbeda dari yang biasa dikenal, dan itu menjadi favorit mereka. Di sana pula mereka berburu logistik ke minimarket dan sempat menyantap nasi padang yang sudah lama dirindukan.

Kapal menyediakan tiga kali makan sehari dengan menunya yang berulang, yaitu rolade untuk sarapan, ayam kecap untuk makan siang, dan ikan goreng setengah matang di malam hari selama 14 hari. Rasanya hambar dan monoton, seperti latihan fisik yang penuh repetisi. Meski begitu, mereka cukup diunggulkan dibanding penumpang lain, entah karena rompi bertuliskan mahasiswa atau jumlahnya yang cukup banyak.

Sementara di Ternate, meski waktu kedatangan berada pada dini hari, banyak yang antusias untuk turun. Udara malam yang sejuk, lampu kota yang berkilau, dan latar Gunung Gamalama yang gagah menyambut mereka. Ada yang sekadar berjalan-jalan, ada pula yang menyempatkan diri mencari makanan hangat. Beberapa bahkan sempat merenung, Kesultanan Ternate dan Tidore menyimpan cerita panjang tentang perdagangan cengkeh yang dulu mengundang bangsa-bangsa asing untuk datang. Menyusuri jalanan area dermaga sambil mengingat sejarah itu, mereka seakan diingatkan bahwa pelayaran hanyalah sebutir pasir kecil di antara ribuan kisah pelaut yang pernah singgah di sini.

Tidak semua persinggahan memberi ruang untuk bersantai. Ketika KM Sinabung tiba di Sorong dan Manokwari, suasananya terasa berbeda. Di Sorong, banyak dari mereka yang memilih tetap berada di dalam kapal. Rasa lelah setelah perjalanan panjang membuat sebagian orang enggan turun, apalagi waktunya tidak terlalu lama. Sorong hanya kami lewati seperti sebuah jeda singkat, cukup untuk melihat lalu lintas dermaga dari balik pagar kapal.

Sejak awal perjalanan, banyak orang telah mengingatkan, “Kalau sampai di Papua, lebih hati-hati ya”. Nasihat itu terdengar berulang-ulang, baik dari sesama penumpang maupun keluarga yang dihubungi lewat telepon. Awalnya, pesan tersebut dianggap sekadar pesan biasa layaknya orang tua mengingatkan anaknya untuk tidak lupa makan. Namun, pengalaman di Manokwari membuat pesan itu terasa jauh lebih nyata. Barang yang nyaris raib benar-benar jadi peringatan keras bahwa perjalanan ini bukan hanya menuntut kesabaran, melainkan juga kewaspadaan. Papua, dengan segala pesonanya, ternyata juga punya sisi lain yang harus dihadapi dengan hati-hati. Sejak kejadian itu, mereka belajar untuk lebih sigap. Tas tidak lagi ditinggalkan begitu saja, dompet selalu dicek ulang, dan mata tak lagi sepenuhnya lelap saat kapal bersandar. Rasa lelah, bosan, dan ingin bebas memang besar, tapi rasa waspada harus tetap lebih besar.

Akhirnya, setelah 14 hari di laut, Biak pun menyambut. Rasa lelah seketika hilang berganti dengan lega akhir dari perjalanan panjang yang tak terlupakan.

Senin itu, suasana di Kampung Saukobye terasa begitu hangat. Dari kejauhan, terdengar lantunan musik dan riuh tawa yang menyambut kedatangan mereka, para mahasiswa Kuliah Kerja Nyata. Begitu kaki menjejak tanah kampung, sambutan itu menjelma menjadi tarian penuh semangat, seolah tiap gerakan adalah ucapan selamat datang. Seperti kanak-kanak, mereka menangis haru disambut antusias oleh masyarakat kampung.

Masyarakat menyambut para mahasiswa dengan antusias. Sebuah arak-arakan kecil terbentuk, mengiringi perjalanan dari perbatasan kampung hingga tiba di posko. Bagi mahasiswa, sambutan itu bukan sekadar ritual, melainkan tanda kepercayaan yang diwariskan dari generasi sebelumnya. Mereka adalah penerus dari kakak-kakak tingkat, generasi ke-9 Mahardika Bakti Nusantara, sebuah komunitas yang berdiri sejak 2015 dan telah membangun ikatan erat dengan Saukobye. Tahun ini menjadi kali kedua mereka hadir di kampung ini secara berurutan.

Para mahasiswa yang tumbuh di kota dengan budaya yang berbeda jauh dari masyarakat Biak, tiba-tiba merasa seperti pulang. Seolah jarak dan perbedaan bukan lagi penghalang, melainkan jembatan yang menyatukan.

Biak sendiri adalah sebuah pulau unik. Pulau ini terbagi ke dalam dua kabupaten: Numfor dan Supiori, keduanya terpisah jarak namun menjadi satu dalam cerita panjang sejarah dan budaya. Biak juga dikenal dengan iklimnya yang ekstrem, sering dijuluki Kota Karang Panas yang dapat dibuktikan melalui perjalanan dari kota menuju Distrik Biak Utara, tepatnya Kampung Saukobye.

Dalam jarak yang hanya sekitar satu jam, mereka seakan melewati empat musim sekaligus. Awalnya langit cerah dengan matahari yang menyengat, membuat kulit terasa perih. Tak lama, hujan deras turun mengguyur, membasahi tubuh dan pakaian. Beberapa menit kemudian, hujan reda dan panas kembali menyengat. Baju yang tadinya kering menjadi basah, lalu kering lagi. Perjalanan singkat itu terasa unik sekaligus melelahkan bagi kami yang terbiasa dengan cuaca Jawa yang lebih stabil.

Siang itu, kami akhirnya tiba di gerbang Kampung Saukobye. Puluhan warga sudah menunggu di gapura desa, menyambut dengan sorak, tawa, dan sapaan hangat. Sebuah mobil “ranger”, sebutan masyarakat untuk mobil dengan bak terbuka di bagian belakang telah dipersiapkan untuk mengantar kami memasuki kampung. Dengan penuh sukacita, kami memasuki Saukobye, membawa harapan dan semangat baru, sekaligus rasa syukur atas sambutan yang begitu meriah. (AAA)

Komentar

Request Dimari Yuk!!!